Posted by : Unknown Jumat, 02 November 2012


Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.

[1]. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu” [1]

Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Tidak ada nikah syighar dalam Islam” [2]

Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak [3].

[2]. Nikah Misyar

Bentuk nikah misyar sudah ada sejak masa silam. Bentuk nikah semacam ini adalah suami mensyaratkan pada istrinya bahwa ia tidak diperlakukan sama dengan isti-istrinnya yang lain (dalam kasus poligami), bisa jadi pula ia tidak dinafkahi atau tidak diberi tempat tinggal, ada pula yang mensyaratkan ia akan bersama istrinya cuma di siang hari (tidak di malam hari).

Atau bisa jadi si istri yang menggugurkan hak-haknya, ia ridho jika hanya ditemani suami di siang hari saja (bukan malam hari), atau ia ridho suaminya tinggal bersamanya hanya untuk beberapa hari saja. (islamqa.com: fatwa 97642)

Bentuk misyar ini sangat nampak sekali di negeri kita pada pasangan perselingkuhan (tanpa status nikah) atau jika suami memiliki istri simpanan tanpa diketahui istri pertama, terserah dengan status nikah yang sah dengan istri kedua atau tidak.

Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, salah satu anggota Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) dan ulama senior di kota Riyadh, ditanya, “Apa pendapatmu –wahai Syaikh- mengenai nikah misyar dan hukum syari’at mengenai nikah semacam ini?”

Jawaban beliau, “Aku tidak merekomendasikan nikah semacam itu karena tidak terpenuhinya maslahat nikah di dalamnya. Nikah semacam ini hanya sekedar pemenuhan syahwat.

Suami tidak bisa mengawasi istrinya dengan benar. Istri juga tidak hidup bersama dengan suami. Jika ada anak dari nikah semacam ini, maka ia akan jauh dari kerabatnya. Yang jelas nikah semacam ini tidak bisa menggapai tujuan nikah. Maka kami pun tidak menganjurkannya.” (Sumber fatwa:http://alfawzan.ws/node/13734)

[3]. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai.

Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu [5] [ ]

[4]. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.

Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal!

Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata.

“Artinya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah)” [7]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat” [8]

[5]. Nikah dalam masa ‘iddah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya” [Al-Baqarah : 235]

[6]. Nikah dengan wanita kafir Yahudi dan Nasrani [9].
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.

Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]

[7]. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua),

anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]

[8]. Nikah dengan wanita yang haram dinikahi di-sebabkan sepersusuan, berdasarkan ayat di atas.

[9]. Nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanita dengan bibinya (dari pihak ibu)”[10]

[10]. Nikah dengan isteri yang telah ditalak tiga.
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

“Artinya : Tidak, hingga engkau merasakan madunya (ber-setubuh) dan ia merasakan madumu”[11]

[11]. Nikah pada saat melaksanakan ibadah ihram.
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”[12]

[12]. Nikah dengan wanita yang masih bersuami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” [An-Nisaa' : 24]

[13]. Nikah dengan wanita pezina/pelacur.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi.

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal”[13]

[14]. Nikah dengan lebih dari empat wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]

Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda,

“Artinya : Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya”[14]

Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Artinya : Pilihlah empat orang dari mereka”[15]

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © i - HIKMAH - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -