- Back to Home »
- Belajar Islam »
- SEKELUMIT TENTANG SUTRAH
Posted by : Unknown
Kamis, 11 Oktober 2012
Sebagaimana dimaklumi bersama, shalat merupakan amal ibadah yang sangat agung dan mulia. Betapa tidak, Alloh dan RasulNya selalu menyebutnya, memuji orang-orang yang menegakkannya dan mengancam keras orang-orang yang melalaikannya, lebih-lebih meninggalkannya. Terlalu panjang masalah ini uraiannya! Setiap muslim dan muslimah pasti mendambakan agar shalatnya diterima oleh Alloh. Namun bagaimanakah caranya agar amal ibadah ini diterima olehNya, berpahala, dan tak sia-sia belaka?! Sebagaimana lazimnya seluruh ibadah, shalat seorang hamba sia-sia kecuali memenuhi dua syarat: Pertama: Ikhlas.[1] Seorang harus benar-benar memurnikan niatnya hanya untuk Alloh, bukan karena pamrih kepada manusia, bangga terhadap dirinya, atau penyakit hati lainnya. Syarat ini, sekalipun memang berat—bahkan lebih sulit dari syarat kedua—tetapi barangsiapa yang berusaha dan bersungguh-sungguh, niscaya akan dimudahkan oleh Alloh. Kedua: Al-Ittiba’. Seorang harus berupaya untuk mencontoh tata cara shalat yang telah dituntunkan oleh Nabi yang mulia. Hal ini sebagaimana tertera dalam hadits:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat. (HR. Bukhari,
Muslim, Ahmad) Konsekuensi syarat kedua ini adalah ilmu. Sebab
bagaimana mungkin kita akan dapat shalat sesuai tuntunan Nabi padahal
kita tidak mengilmuinya?! Di antara petunjuk Nabi dalam shalat adalah
“sutrah”. Mengingat begitu pentingnya masalah ini dan terabaikannya
sunnah ini di lapisan mayoritas masyarakat kita sekarang, maka penulis
terdorong untuk membahasnya, sekalipun secara ringkas. Definisi Sutrah[2]
Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan oleh seorang yang shalat di
depannya sebagai pembatas antaranya dengan orang yang lewat di depannya.
Perintah Bersutrah Ketahuilah wahai saudaraku yang
mulia—semoga Alloh menambahkan ilmu bagimu—bahwasanya Nabi selalu
menjadikan sutrah dalam shalatnya, baik ketika safar ataupun tidak, di
bangunan atau tanah lapang, di masjid, di rumah, dan sebagainya. Beliau
terkadang bersutrah dengan tembok, tiang, ranjang, pelepah kurma, dan
sebagainya. Tak hanya itu, Nabi juga memerintahkan secara lisan
sebagaimana tertera dalam banyak hadits, di antaranya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لاَ
تُصَلِّ إِلاَّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبىَ فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda,
“Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah dan janganlah engkau
biarkan seorangpun lewat di depanmu. Apabila dia enggan, maka perangilah[3] karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan).”(Muslim 260)
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ
الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ
فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَالْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ
فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat, maka
hendaknya dia bersutrah dan mendekat kepadanya. Dan janganlah dia
membiarkan seorangpun lewat di depannya, apabila dia enggan maka
perangilah karena dia adalah setan.”(HR. Abu Dawud 697, Ibnu Majah 954, dll. dengan sanad hasan)
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلىَ سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ
مِنْهَا لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ. وَفيِ لَفْظٍ
عِنْدَ ابْنِ خُزَيْمَةَ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْهِ
Dari Sahl bin Abu Hatsmah dari Nabi bersabda, “Apabila seorang di
antara kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya dia mendekat pada
sutrah, janganlah setan memotong shalatnya.” (Shahih. Riwayat Ibnu Abi Syaibah 1/279, Ahmad 4/2, Abu Dawud 695, dan lain-lain). Dan dalam lafazh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2/10, “Apabila
salah seorang di antara kalian shalat, maka hendaknya dia bersutrah dan
mendekat padanya, karena setan lewat di depannya.” Hadits-hadits
di atas menjelaskan secara gamblang disyari’atkannya bersutrah, baik dia
imam atau shalat sendirian, dan baik di bangunan atau tanah lapang
sebagaimana disepakati oleh para ulama, seperti dinukil oleh Ibnu Rusyd
dalam Bidayah Al-Mujtahid 1/116, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ hal. 30, Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 4/197, An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 3/209, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 2/237, dan As-Saffarini dalam Syarh Tsulatsiyat Ahmad 2/786.
Bahkan lebih dari itu, sebagian ulama berpendapat wajibnya bersutrah
sebagaimana madzhab Imam Ahmad, Abu Awanah, Ibnu Habib Al-Maliki, Ibnul
Majisyun, Mutharrif, Mahmud As-Subuki, Al-Albani, dll. (Lihat Ithaf
Al-Ikhwah bi Ahkam Shalat ila Sutrah hal. 102-113, Farikh bin Shalih
Al-Bahlal) Berkata Imam Asy-Syaukani tatkala mengomentari hadits Abu
Sa’id di atas, “Hadits ini menunjukkan bahwa bersutrah hukumnya wajib.”
(Nailul Authar 2/4). Beliau juga berkata, “Zhahir perintah menunjukkan
wajib, kalau memang dijumpai dali yang memalingkannya kepada sunnah,
maka hukumnya sunnah.” (Sailul Jarrar 1/176) Salaf dan Sutrah Syari’at dan sunnah[4]
yang mulia ini menempati posisi yang tinggi dalam hati para salaf dari
kalangan sahabat Nabi. Hal ini tak aneh, lantaran mereka adalah generasi
yang dikenal sangat mengagungkan perintah Nabi dan bersegera dalam
pelaksanaannya. Semua itu buah keikhlasan dan kejujuran mereka dalam
cinta kepada Alloh dan RasulNya. Dari Anas berkata, “Aku melihat para
sahabat Nabi mengerumuni tiang-tiang ketika Maghrib sampai Nabi keluar.”
(HR. Bukhari 503). Dalam lafazh lainnya, “Dalam keadaan seperti itu,
mereka melakukan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari 625) Dalam atsar ini,
Anas menceritakan dari sahabat dalam waktu yang sempit ini mereka
mengerumuni tiang-tiang untuk menjalankan shalat sunnah sebelum Maghrib.
Dari Qurrah bin Iyas berkata: Umar (bin Khaththab) pernah melihatku
shalat di antara dua tiang, lalu dia memegang tengkukku dan
mendekatkanku ke sutrah, seraya berkata: “Shalatlah menghadapnya.” (HR.
Bukhari 1/557) Abdullah bin Mas’ud berkata, “Empat perkara termasuk
kelalaian: seorang yang shalat tidak menghadap sutrah … atau mendengar
adzan tetapi tidak memenuhinya.” (Shahih. Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/61
dan Al-Baihaqi 2/285) Perhatikanlah! Bagaimana beliau menyandingkan
shalat seorang tanpa sutrah dengan tidak memenuhi panggilan adzan! Dari
Nafi’ berkata: Adalah Ibnu Umar z/ apabila tidak mendapati peluang tiang
masjid, maka beliau mengatakan kepadaku, “Berikan pundakmu padaku
(untuk sutrah–pent).” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 1/279 dengan
sanad shahih) Dan adalah Salamah bin Al-Akwa’ meletakkan beberapa batu
di tanah lapang. Apabila dia ingin shalat, maka dia shalat menghadapnya.
(Ibnu Abi Syaibah 1/279 dengan sanad shahih) Atsar-atsar seperti ini
masih banyak. Tetapi cukuplah sebagian di atas sebagai ibrah bagi kita. Manfaat Sutrah Syari’at menjadikan sutrah dalam shalat ini memiliki beberapa manfaat, di antaranya: 1. Melaksanakan perintah Nabi dan mengikuti petunjuk beliau yang merupakan kebaikan di dunia dan akhirat. Alloh berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا
أَنفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ
مِّنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ
خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا ﴿٦٦﴾
Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang
diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi
mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). (QS. An-Nisa’: 66) 2.
Menjadikan pandangan seorang yang shalat terpusat padanya dan tidak
melayang ke mana-mana, sehingga dia betul-betul menghadirkan hatinya
dengan penuh kekhusyukan. 3. Menutupi kekurangan shalat seorang dan mencegah setan untuk lewat di depannya dan merusak shalatnya. 4. Sebagai tanda bagi manusia bahwa seorang sedang dalam shalat. 5. Menghindarkan manusia agar tidak terjatuh dalam larangan melewati orang yang sedang shalat. 6.
Memperirit tempat shalat dan memberikan tempat selebihnya kepada yang
lain. (Lihat Syarh Al-Mumti’ 3/275 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin) Demikian beberapa faedah yang dapat dipetik. Namun bagi
seorang muslim hendaknya yakin seyakin-yakinnya bahwa seluruh hukum
Alloh dan RasulNya pasti membawa maslahat dan menyimpan faedah, baik
kita ketahui atau tidak. Bahkan seorang yang mengamalkan suatu hukum
karena pasrah dan tunduk kepada pembuat syari’at sekalipun dia tidak
mengetahui faedahnya, lebih baik daripada seorang yang mengamalkannya
hanya karena faedah yang ada padanya. Wallahu A’lam. Ukuran Sutrah Tentang ukurannya, telah dijelaskan dalam berbagai hadits, di antaranya:
عَنْ طَلْحَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
: إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُأَخِّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِيْ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
Dari Thalhah / berkata: Rasulullah n/ bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kalian meletakkan di depannya semisal
kayu yang terletak di belakang kendaraan (untuk sandaran) maka hendaknya
dia shalat dan tidak usah menghiraukan orang yang lewat di belakang
benda tersebut.”(Muslim 499)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ فيِ غَزْوَةِ تَبُوْكٍ عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّيْ فَقَالَ: كَمُأَخِّرَةِ الرَّحْلِ
Dari Aisyah berkata: Rasulullah pernah ditanya
pada perang Tabuk tentang sutrah bagi orang shalat, maka beliau
menjawab, “Semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan yang
dijadikan sandaran oleh pengendaranya.”(Muslim 500)
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
: إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي
فَإِنَّهُ يَسْتُرْهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ
الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ
فَإِنَّةُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ
الأَسْوَدُ
Dari Abu Dzar berkata: Rasulullah bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat, maka
sesungguhnya sutrahnya adalah jika di depannya semisal kayu yang
terletak di belakang kendaraan. Dan apabila tidak ada di depannya
semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan, maka shalatnya akan
terpotong oleh khimar (keledai), wanita, dan anjing hitam.” (Muslim
510) Hadits-hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang ukuran
panjang sutrah, yaitu seukuran kayu yang diletakkan di belakang
kendaraan. Tidak boleh kurang apabila mampu. Sebab ketika Nabi ditanya
tentang sutrah, beliau menjawab dengan semisal kayu yang terletak di
belakang kendaraan. Seandainya boleh kurang darinya, tentu Nabi tidak
mungkin menyembunyikannya. Kayu yang diletakkan di belakang kendaraan
seukuran satu hasta sebagaimana ditegaskan Atha’, Qatadah, Tsauri, dan
Nafi’. (Lihat Al-Mushannaf 2/9, 14, 15 dan Shahih Ibnu Khuzaimah 2/11).
Dan satu hasta yaitu ukuran dari siku lengan sampai ujung jari tengah
(Lisanul Arab 3/1495) atau seukuran 46,2 cm (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha’
hal. 450-451) Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan ukuran di sini
adalah panjang, bukan lebarnya. Imam Ibnu Khuzaimah berkata, “Telah
tegak dalil hadits Nabi bahwasanya maksud beliau dengan seukuran kayu di
belakang kendaraan adalah panjangnya, bukan lebarnya. Di antaranya,
bahwa beliau menancapkan tombak sebagai sutrah, padahal lebarnya tombak
tidak seukuran dengan kayu di belakang kendaraan.” (Shahih Ibnu
Khuzaimah 2/12) Dari sini dapat diambil faedah bahwa tidak boleh
bersutrah dengan garis kalau dia mampu bersutrah dengan benda lainnya
seperti tongkat, barang, kayu, dan sebagainya, hatta sekalipun
dia harus menumpuk bebatuan seperti dilakukan sahabat Salamah bin
Al-Akwa’. (Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/278) Perlu disampaikan pula
di sini bahwa hadits tentang sutrah dengan garis adalah lemah menurut
pendapat terkuat. Seandainya shahih, maka hal itu merupakan usaha
terakhir sebagaimana sangat jelas dari konteks hadits tersebut. (Lihat
kembali majalah Al-Furqon Edisi 8/Th. III hal. 6) Mendekat ke Sutrah
Dalam hadits-hadits yang telah kami nukilkan di awal terdapat
keterangan tentang perintah Nabi untuk mendekat ke sutrah. Oleh
karenanya, hendaknya hal ini diperhatikan dan tidak disepelekan. Ada
sebuah kisah menarik dalam masalah ini, diceritakan Imam Ibnul Mundzir
dalam Al-Ausath 5/87 dan Al-Khaththabi dalam Ma’alim Sunan 342
bahwasanya suatu hari Imam Malik pernah shalat jauh dari sutrah, lalu
lewatlah seseorang yang tidak mengenalnya seraya berkata, “Wahai orang
yang shalat, mendekatlah ke sutrahmu!” Maka Imam Malik lalu maju ke
depan, sedangkan beliau saat itu membaca ayat:
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّـهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّت
طَّائِفَةٌ مِّنْهُمْ أَن يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّا
أَنفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِن شَيْءٍ ۚ وَأَنزَلَ اللَّـهُ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن
تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّـهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا ﴿١١٣﴾
Dan (Alloh) telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Alloh sangat besar atasmu. (QS. An-Nisa’: 113) Jarak Dengan Sutrah
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُوْلِ اللهِ
وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرَّ شَاةٍ. وَفيِ رِوَايَةٍ كَانَ بَيْنَ مَقَامِ النَّبِيِّ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مَمَرَّ عَنْزٍ
Dari Sahl bin Sa’ad berkata, “Jarak antara tempat shalat Rasulullah
dengan dinding adalah seukuran tempat lewatnya kambing.” (HR. Bukhari
1/574 dan Muslim 4/225). Dalam riwayat lain, “Jarak antara tempat
berdirinya Nabi dengan kiblat adalah seukuran tempat berlalunya domba.”
(Shahih. Abu Dawud 1/11) Keadaan ini adalah yang sering dipraktekkan
Nabi karena hadits di atas adalah menceritakan tentang kejadian di
masjid beliau. Dengan demikian, berarti jarak dengan sutrah sangat
dekat, sehingga tatkala sujud, kepala berdekatan dengan sutrah. Tidak
ragu lagi, bahwa ini lebih utama karena dua sebab: Pertama: Melaksanakan
perintah mendekat kepada sutrah. Kedua: Memperirit tempat shalat
sehingga bisa digunakan oleh yang lain. Sekalipun ini adalah yang
afdhal, namun boleh bagi seseorang untuk bersutrah lebih dari itu,
hingga batas maksimalnya adalah tiga hasta sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Nabi juga ketika shalat di Ka’bah. (Bukhari 1/579) Imam
Nawawi berkata, “Para sahabat kami (madzhab Syafi’i) mengatakan:
Hendaknya seseorang mendekat ke sutrahnya dan tidak lebih dari tiga
hasta jarak antaranya dengan sutrah.” (Syarh Shahih Muslim 4/217)
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ad-Dawudi mengkompromikan bahwa batas
minimalnya adalah seukuran tempat berlalunya domba, sedang jarak
maksimalnya adalah tiga hasta.” (Fathul Bari 1/575) Imam Ibnu Hazm
berkata, “Para ulama sepakat bahwa seorang yang mendekat ke sutrahnya
dengan jarak antara seukuran lewatnya domba sampa tiga hasta, maka dia
telah menunaikan kewajibannya.” (Maratibul Ijma’ hal. 30) Sutrah Imam, Sutrahnya MakmumMakmum
tidak berkewajiban bersutrah karena sutrah dalam shalat jama’ah
merupakan tanggung jawab imam. Dan karena para sahabat shalat bersama
Nabi, namun tidak dinukil kalau mereka membuat sutrah. Jangan ada yang
berkeyakinan bahwa setiap makmum sutrahnya adalah makmum di depannya,
karena hal itu tidak ada bagi makmum shaf pertama, kemudian
konsekuensinya, setiap makmum harus mencegah orang yang lewat di
depannya, padahal telah shahih dalil yang menyelisihinya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جِئْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أُتَانٍ وَرَسُوْلُ اللهِ
بِعَرَفَةَ فَمَرَرْنَا عَلَى بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْنَا فَتَرَكْنَاهَا تَرْتَعُ وَدَخَلْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فيِ الصَّلاَةِ فَلَمْ يَقُلْ لَنَا رَسُولُ اللهِ شَيْئًا وَفيِ رِوَايَةٍ أَنَّ اْلأُتَانَ مَرَّتْ بَيْنَ يَدَيِ اْلصَّفِّ اْلأَوَّلِ
Dari Ibnu Abbas berkata, “Saya pernah datang bersama Fadhl dengan mengendarai keledai ketika Rasulullah di
Arafah. Lalu kami melewati sebagian shaf kemudian turun, dan kami
biarkan keledai tersebut makan rumput, lalu kami ikut bergabung shalat
bersama Nabi. Nabi tidak mengatakan sesuatupun kepada kami (tidak mengingkari).” (Muslim 504). Dalam riwayat Bukhari 1857: “Bahwasanya keledai melewati di depan shaf pertama.”
Dalam hadits ini, Ibnu Abbas dan Fadhl melewati di shaf pertama dengan
kendaraan keledai betina, lalu tidak ada seorangpun dari sahabat yang
mencegahnya atau mencegah keledainya. Demikian pula Nabi tidak
mengingkarinya. Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits Ibnu Abbas ini
mengkhususkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di depannya.’Karena
hadits Abu Sa’id khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
Adapun makmum maka tidak memadharatkannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas
ini.” Lalu lanjut beliau, “Semua ini tidak ada perselisihan di kalangan
ulama.” (Fathul Bari 1/572)Beberapa Faedah dan Masalah
1. Adakah perbedaan antara sutrah di bangunan dan di tanah lapang? Tidak ada. Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketahuilah bahwa zhahir hadits-hadits menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara tanah lapang dan bangunan.” (Nailul Authar 3/6) 2. Bila merasa aman tidak ada yang akan lewat di depannya, tetapkah bersutrah? Ya. Imam As-Saffarini berkata, “Ketahuilah bahwasanya disunnahkan bersutrah dalam shalat dengan kesepakatan ulama sekalipun tidak dikhawatirkan adanya orang yang lewat.” (Syarh Tsulatsiyat Ahmad 2/278) 3. Apabila bersutrah dengan orang atau hewan lalu dia pergi, bolehkan berjalan mendekat ke sutrah? Ya, boleh. Berdasarkan keumuman hadits dan didukung oleh beberapa atsar dari salaf, kecuali apabila membutuhkan gerakan yang banyak, maka cukup dia berdiri di tempatnya dan mencegah orang yang lewat semampunya. Inilah yang dipilih oleh Imam Malik, Ibnu Rusyd, dan juga Syaikh Al-Albani. (Lihat kembali majalah Al-Furqon Edisi 8/Th. III hal. 5) 4. Bagaimana apabila di Masjidil Haram, apakah tetap disyari’atkan sutrah?Ya, tidak ada perbedaan, bahkan telah shahih dalam riwayat Imam Bukhari 3/467 dari Ibnu Abi Aufa bahwa Rasulullah n/ tatkala umrah dan thawaf di Ka’bah, dan shalat di belakang maqam dua rakaat dan bersamanya ada orang yang menjadi sutrah untuknya. Dan inilah yang dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik dan Ibnu Umar kecuali kalau memang dalam kondisi berdesakan sekali, maka sebagaimana firman Alloh:
فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ
Maka bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghabun: 16) 5. Bolehkah melewati orang yang sedang shalat?!Tidak boleh, bahkan termasuk dosa besar. Rasulullah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ اْلمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ اْلمُصَلِّيْ
مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا مِنْ أَن
يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat itu
mengetahui (dosa) yang dia pikul darinya, maka dia berdiri selama empat
puluh (tahun) lebih baik daripada dia melewati di depannya.
(Bukhari 1/584) Hadits ini umum, baik orang yang shalat tersebut memakai
sutrah atau tidak, shalat sunnah atau wajib, di bangunan atau tanah
lapang, di Makkah atau di luar Makkah. Hendaknya hal ini diperhatikan
dan tidak disepelekan! Adapun melewati makmum yang sedang shalat
berjama’ah bersama imam, maka hukumnya boleh berdasarkan hadits Ibnu
Abbas. Namun sekalipun demikian, apabila seseorang mendapatkan peluang
untuk tidak melewati maka itu lebih baik, karena sedikit banyak hal itu
pasti mengganggu kekhusyukan orang shalat. (Lihat Syarh Al-Mumti’ 3/279,
Ibnu Utsaimin) Demikianlah beberapa masalah tentang sutrah. Kita
berdo’a kepada Alloh agar menjadikan kita semua termasuk hamba-hambaNya
yang ikhlas dan menghidupkan sunnah Nabi serta meneguhkan kita di
atasnya hingga kita bertemu denganNya besok di hari akhirat.Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Artikel http://abiubaidah.com/
[1] Lihat tulisan Al-Akh Al-Fadhil Abu Abdillah “Ikhlas” dalam Al-Furqon Edisi 6/Th. IV.
[2] Pembahasan ini banyak disarikan dari risalah Ahkam As-Sutrah oleh Syaikh Muhammad bin Rizq bin Tharhuni, cet. Dar Al-Haramain.
[3] Sebagian ada yang menerjemahkan “maka bunuhlah”. Maka ini kesalahan cukup fatal, karena ada perbedaan tajam antara « قَتَلَ » yang bermakna membunuh dan « قَاتَلَ » yang bermakna memaksa orang dengan hukum syar’i. Sedang dalam hadits dengan lafazh kedua (قَاتَلَ) bukan yang pertama (قَتَلَ).
[4]
“Sunnah” yang kami maksud di sini bukan sunnah dalam istilah fiqih,
tetapi petunjuk dan tuntunan Nabi n/ kepada umatnya. Adapun hukumnya
sutrah, maka menurut pendapat yang terkuat adalah wajib. Wallahu A’lam.