Pages
Total Pengunjung
Property of I-Hikmah . Diberdayakan oleh Blogger.
Labels
- Adab Dan Akhlak (13)
- Amalan Bulanan (8)
- Aqidah (13)
- Belajar Islam (27)
- Berita (1)
- Bersih Jiwa (9)
- Do'a dan Wirid (3)
- Faedah (1)
- Fiqih (16)
- Fiqih Kontemporer (2)
- Hukum Islam (2)
- Keluarga (18)
- Khutbah Jum'at (2)
- Kisah (1)
- Lain Lain (10)
- Manajemen Kalbu (14)
- Manhaj (9)
- Motivasi (10)
- Muamalah (7)
- Mukzizat Qur'an dan Sunnah (1)
- Mutiara Hadis (4)
- Nasihat (17)
- Pengetahuan Umum (4)
- Penyakit Hati (6)
- Perkataan Ulama (2)
- Sholat (2)
- Status Facebook (2)
- Syair (1)
- Tafsir (1)
- Tanya Jawab (4)
- Tauhid (1)
- Thibun Nabawi (1)
- Wanita (26)
About Me
Followers
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
ISTIQAMAH
ISTIQAMAH
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan datangnya fitnah yang bergelombang yang silih berganti menghampiri orang yang beriman, beliau memerintahkan agar senantiasa istiqamah, beliau bersabda,
وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا وَتَجِيءُ فِتْنَةٌ فَيُرَقِّقُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِهِ مُهْلِكَتِي ثُمَّ تَنْكَشِفُ وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِهِ هَذِهِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Dan sesungguhnya umat ini dijadikan keselamatannya pada generasi awalnya, dan generasi akhirnya akan ditimpa bala’ dan perkara-perkara yang kamu ingkari, dan datanglah fitnah yang menjadikan fitnah sebelumnya ringan dibandingkan fitnah setelahnya. Datanglah fitnah lalu si mukmin berkata, “Inilah yang akan membinasakanku”. Kemudian fitnah itu pergi, lalu datang lagi fitnah, si mukmin berkata, “Inilah yang akan membinasakanku…”. Barang siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, hendaklah ia mendatangi kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhirat…” (HR. Muslim)[1]
Ketika kematian datang dan seseorang dalam keadaan beriman kepada Allah Ta’ala yaitu istiqamah di atas jalan yang lurus yang telah Allah pancangkan untuk hamba-Nya, dan menggigitnya dengan gigi geraham sampai ia bertemu dengan Allah Rabbul ‘alamin. Dan tidak mungkin seorang hamba dapat bertemu dengan Allah dalam keadaan beriman kecuali dengan istiqamah, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Rabb kami Adalah Allah”. Kemudian beristiqamah, maka Malaikat akan turun kepada mereka (ketika matinya): “Jangan kamu merasa takut dan jangan kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushilat : 30)
Istiqamah di akhir zaman amatlah berat disebabkan fitnah yang dahsyat sampai-sampai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa orang yang bersabar memegang agamanya di zaman fitnah bagaikan memegang bara api yang panas. Oleh karena itu, seorang hamba yang menginginkan keselamatan hendaklah berusaha mencari jalan agar senantiasa dapat sabar beristiqamah di atas sunah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Jalan Menuju Istiqamah
Kerinduan seorang hamba kepada Rabbnya menimbulkan kekuatan untuk terus meniti jalan menuju Allah, tak peduli dengan aral yang melintang tidak pula jalan yang terjal, dan hendaklah ia mengetahui sebab-sebab agar dapat beristiqamah sehingga ia dapat meraih husnul khatimah, diantara sebab-sebab istiqamah adalah:
a. Ikhlash
Seorang hamba bila hanya mengharapkan keridhaan Allah dan pahala-Nya akan diberikan kekuatan untuk meniti jalan-Nya. Biarlah manusia murka dan mencela, baginya semua itu ringan dibandingkan dengan kemurkaan Allah dan adzab-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرْضَى اللهَ بِسَخَطِ النَّاسِ ، كَفَاهُ اللهُ النَّاسَ ، وَ مَنْ أَسْخَطَ اللهَ بِرِضَى النَّاسِ ، وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ
“Barang siapa yang mencari keridhaan Allah walaupun manusia murka kepadanya, Allah akan mencukupinya dari manusia. Dan barang siapa yang membuat Allah murka karena mencari keridhaan manusia, maka Allah akan menyerahkan ia kepada manusia (tidak akan ditolong oleh Allah).” (HR. Abdu bin Humaid)[2]
Hati yang tidak ikhlas akan membawa pemiliknya kepada kebinasaan, walaupun secara lahiriyah ia terlihat baik dan beramal shalih, namun ketika di hatinya ada kotoran riya dan mengharapkan sedikit dari kesenangan dunia, ia akan segera roboh di tengah jalan kecuali bila Allah merahmatinya. Demikian juga sangat dikhawatirkan bila ketidakikhlasannya tersebut menyebabkan ia mati dalam keadaan su’ul khatimah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا
“Sesungguhnya seseorang darimu ada yang beramal dengan amalan ahli surga sehingga jaraknya dengan surga tinggal sehasta, tetapi takdir menentukan lain, ia beramal dengan amalan ahli neraka lalu iapun masuk ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).[3]
Dan dalam riwayat lain dengan lafadz,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan ahli surga sebatas yang tampak kepada manusia dan ia termasuk ahli neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ‘Sebatas yang tampak kepada manusia’ memberikan isyarat bahwa batin orang tersebut berbeda dengan lahiriyahnya, dan su’ul khatimah terjadi disebabkan oleh adanya keburukan yang tersembunyi yang tidak diketahui oleh manusia, sehingga perangai buruk yang tersembunyi tersebut menyeret ia kepada pengakhiran yang buruk ketika datang kematian.”[4]
Wahai Dzat yang membolak balikkan hati, kuatkan hati kami untuk senantiasa ikhlas dan istiqamah di atas agama-Mu.
b. Mutaba’ah
Mutaba’ah artinya meniti jalan sunah dan menapaki jejak kaki Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak disebut istiqamah kecuali bila sesuai dengan sunah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena orang yang berbuat bid’ah telah menyimpang dari jalan istiqamah. Bagaimana akan disebut istiqamah sementara ia menapaki selain jejak kaki Rasulullah ?! Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
“Aku tinggalkan kamu di atas putih bersih malamnya bagaikan siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali akan binasa.” (HR. Ibnu majah dan lainnya)[5]
Sesungguhnya mutaba’ah memberikan kekuatan yang dahsyat untuk dapat beristiqamah di jalan Allah selama ia ikhlas, bahkan Dajjal pun tak kuasa membinasakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis,
يَأْتِي الدَّجَّالُ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ أَنْ يَدْخُلَ نِقَابَ الْمَدِينَةِ فَيَنْزِلُ بَعْضَ السِّبَاخِ الَّتِي تَلِي الْمَدِينَةَ فَيَخْرُجُ إِلَيْهِ يَوْمَئِذٍ رَجُلٌ وَهُوَ خَيْرُ النَّاسِ أَوْ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّكَ الدَّجَّالُ الَّذِي حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَهُ فَيَقُولُ الدَّجَّالُ أَرَأَيْتُمْ إِنْ قَتَلْتُ هَذَا ثُمَّ أَحْيَيْتُهُ هَلْ تَشُكُّونَ فِي الْأَمْرِ فَيَقُولُونَ لَا فَيَقْتُلُهُ ثُمَّ يُحْيِيهِ فَيَقُولُ وَاللَّهِ مَا كُنْتُ فِيكَ أَشَدَّ بَصِيرَةً مِنِّي الْيَوْمَ فَيُرِيدُ الدَّجَّالُ أَنْ يَقْتُلَهُ فَلَا يُسَلَّطُ عَلَيْهِ
“Dajjal datang dan ia diharamkan untuk memasuki lorong-lorong menuju kota Madinah, maka ia singgah di sebuah tanah tandus sebelah kota Madinah. Lalu keluar menemuinya seorang laki-laki, ia adalah sebaik-baik manusia atau di antara manusia yang paling baik. Laki-laki itu berkata, ‘Aku bersaksi bahwa engkau adalah Dajjal yang dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya’. Dajjal berkata kepada (pengikutnya), ‘Bagaimana jika aku membunuh orang ini kemudian aku hidupkan kembali, apakah kalian meragukan ketuhananku?’ Mereka berkata, ‘Tidak’. Lalu Dajjal membunuhnya kemudian menghidupkannya kembali. Orang itu berkata, ‘Demi Allah, Aku semakin yakin di hari ini (bahwa engkau adalah Dajjal)’, maka Dajjal berusaha membunuhnya namun ia tidak mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim)[6]
laki-laki itu memiliki ilmu tentang hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengannya setegar karang yang tak bergeming diterpa ombak lautan. Sebaliknya orang yang menyimpang dari sunah tak dapat beristiqamah di atas sunah dan dikhawatirkan akan menjadi pengikut Dajjal sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah hadis,
يَنْشَأُ نَشْءٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَرَّةً حَتَّى يَخْرُجَ فِي عِرَاضِهِمْ الدَّجَّالُ
“Akan muncul kelompok (khawarij) yang membaca Alquran namun tidak sampai ke kerongkongan mereka, setiap kali muncul di sebuah generasi akan ditumpas.” Ibnu Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kali muncul di sebuah generasi akan ditumpas.” Lebih dari dua puluh kali hingga keluar Dajjal bersama mereka.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya).[7]
c. Mencari Teman yang Shalih
Agama seseorang dapat dinilai dari teman dekatnya sebagaimana dalam hadis Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu di atas agama temannya, maka hendaklah ia melihat dengan siapa ia berteman.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Teman yang shalih adalah keberuntungan yang baik bagi seorang hamba, karena ia dapat mengambil kebaikan darinya atau setidaknya ia mendapatkan wanginya. Dikala kesusahan mengganjal hatinya, ia terhibur dengan untaian nasihatnya, lebih-lebih bila teman yang shalih itu adalah seorang ahli ilmu yang bermanfaat ilmunya. Ibnu Qayyim rahimahullahbercerita, “Apabila kami merasa sangat takut, dugaan-dugaan menjadi buruk, dan bumi menjadi terasa sempit, kami mendatangi beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) maka sebatas kami mendengar ucapannya hilanglah semua perasaan tadi dan dada kami berubah menjadi lapang dan bertambah kekuatan, keyakinan, dan ketenangan.
Maha suci Allah yang mempersaksikan surga kepada hamba-Nya sebelum ia bertemu dengan-Nya, dan membukakan untuk mereka pintu-pintunya di negeri amal (dunia), maka datanglah kepada mereka angin surga dan wewangiannya yang memberikan kekuatan untuk berlomba-lomba meraihnya.”[8]
Sebaliknya teman yang buruk adalah musibah yang dapat merusak agama seorang hamba, di kala berada di jalan kebenaran, ia dihalang-halangi dan dilemahkannya, dan bila berada di jalan kebatilan ditiupkan padanya buhul-buhul pengikat, sehingga ia terhalang dari cahaya hidayah yang akan menerangi hatinya.
Bukankah Abu Thalib paman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mati di atas kekafiran akibat teman-temannya yang buruk, Nabi berusaha mengajaknya kepada Islam seraya bersabda, “Wahai paman, ucapkan laa ilaaha illallah dengan kalimat itu aku akan membelamu di hari kiamat.” Sementara Abu Jahal dan Abu Lahab menghalang-halanginya dan berkata, “Apakah engkau membenci millah (ajaran) Abdul Muthallib?” Ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir di atas millah kaumnya yang sesat. Laa haula wala quwwata illa billah.
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman yang shalih dan teman yang buruk seperti penjual minyak wangi dan peniup ubupan. Adapun penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu atau engkau membeli darinya atau engkau mendapatkan wangi yang harum darinya. Sedangkan peniup ubupan akan membakar bajumu atau mendapatkan darinya bau yang tidak enak.” (HR. Bukhari dan Muslim).[9]
Teman yang shalih sangat kita butuhkan di zaman fitnah ini, maka jangan kita terpedaya dengan julukan eklusif atau semacamnya, karena keselamatan agama adalah segalanya, dan bersabarlah ketika kita bergaul dengan orang shalih karena mereka adalah manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan, dan orang yang berjiwa besar adalah yang dapat menerima kekurangan orang lain dan memperbaiki kekurangan dirinya.
d. Meninggalkan Dosa
Dosa memberikan noda-noda hitam di hati manusia, sehingga apabila noda hitam itu telah memenuhi hati ia akan menjadi gelap gulita, tak dapat mengenal yang ma’ruf tidak juga mengingkari yang mungkar, disebutkan dalam hadis:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
“Fitnah akan ditampakkan kepada hati seperti tikar seutas demi seutas, hati mana saja yang menerimanya akan diberikan titik hitam dan hati mana saja mengingkarinya akan diberi titik putih, sehingga menjadi dua hati: Hati yang putih bagaikan batu shofa, tidak terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada. Dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.” (HR. Muslim)[10]
Dosa melemahkan pengagungan seseorang terhadap Allah di hatinya dan menghilangkan rasa takut dari adzab-Nya. Engkau lihat orang yang banyak berbuat maksiat lisannya terasa berat untuk menyebut nama Allah, ia ganti dengan nama “Tuhan” atau “Yang di atas” atau yang semacamnya. Ia tidak memandang adzab sebagai peringatan namun hanya sebatas fenomena alam dan bencana biasa akibat alam yang tidak ramah katanya.
Orang yang keadaannya demikian akankah mampu beristiqamah di jalan Allah?! Selamanya tidak, karena dosa sudah dianggapnya remeh dan tidak lagi merasakan sakitnya maksiat akibat hati yang telah gelap dan mati, dan mayat tak akan merasakan lagi sakitnya tusukan pedang dan tombak.
e. Shalat Malam
Shalat malam adalah nutrisi kekuatan hati yang memunculkan ketegaran di kala ujian silih berganti, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdakwah di kota Mekah menghadapi berbagai macam permusuhan dan siksa dari kaumnya, Allah memerintahkan beliau berdiri bermunajat di waktu malam untuk mengokohkan hati dalam memikul beban risalah. Allah Ta’ala berfirman,
يَآأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ {1} قُمِ الَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً {2} نِّصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً {3} أَوْزِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلاً {4} إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً {5} إِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلاً {6}
“Wahai orang yang berselimut. Bangunlah di waktu malam kecuali sedikit. Setengahnya atau kurangi lagi sedikit. Atau tambahkan dan bacalah Alquran secara tartil. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan pada waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al Muzammil: 1-6).
Ketika fitnah turun dan melanda manusia, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya segera bertaqarrub kepada Allah di waktu malam. Ummu Salamah berkata,
اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَزِعًا يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ الْخَزَائِنِ وَمَاذَا أُنْزِلَ مِنْ الْفِتَنِ مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ يُرِيدُ أَزْوَاجَهُ لِكَيْ يُصَلِّينَ رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْآخِرَةِ
“Suatu malam Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bangun tiba-tiba dan bersabda: “Subhanallah ! Perbendaharaan apa yang Allah turunkan dan fitnah apa yang diturunkan, siapakah yang mau membangunkan para pemilik kamar –maksudnya istri-istrinya agar bangun shalat- berapa banyak wanita yang memakai pakaian di dunia namun telanjang di akhirat.” (HR. Bukhari)[11]
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan anjuran untuk ber-tadharru’ (beribadah) ketika turunnya fitnah terlebih di waktu malam..”[12]
f. Do’a
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu memohon kepada Allah agar hatinya diberi kekuatan untuk tetap tegar di atas agama-Nya. Anas radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا قَالَ نَعَمْ إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seringkali mengucapkan, “Wahai (Dzat) Yang membolak balikkan hati, kuatkanlah hatiku di atas agamamu.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan apa yang engkau bawa, apakah engkau mengkhawatirkan kami?” Beliau menjawab, “Iya, sesungguhnya hati itu berada di antara dua jari-jemari Allah yang Dia bolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya.” (HR. At Tirmidzi dan lainnya)[13]
Terlebih di zaman yang penuh fitnah, kita amat butuh kepada pertolongan Allah agar dapat tegar berpegang kepada agama-Nya, bukankah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallammengabarkan akan datangnya fitnah yang gelap bagaikan malam yang kelam yang menjadikan seseorang tidak dapat istiqamah, beliau bersabda,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Bersegeralah beramal sebelum datangnya fitnah yang bagaikan malam yang gelap gulita, seseorang beriman di waktu pagi dan menjadi kafir di waktu sore, beriman di waktu sore dan menjadi kafir di waktu pagi, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)[14]
Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah agar diwafatkan dalam keadaan selamat dari fitnah, beliau berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُونٍ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu untuk selalu berbuat kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan mencintai orang-orang miskin, dan apabila Engkau menginginkan fitnah kepada hamba-hambaMu, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terfitnah.” (HR. At Tirmidzi dan lainnya)[15]
g. Dzikir
Iblis dan bala tentaranya berusaha menggoda manusia dari jalan yang lurus, segala macam cara ia tempuh untuk menyesatkan manusia. Ia selalu memata-matai hati anak Adam dan mempergunakan kelengahannya. Akan tetapi Allah telah memberikan senjata untuk manusia dalam menghadapi setan dari kalangan jin yaitu dengan banyak berdzikir dan mengingat Allah Ta’ala. Ibnu Abbas berkata, “Setan selalu memperhatikan hati anak Adam, bila ia lengah dan lalai setan datang memberikan waswas, dan bila ia berdzikir kepada Allah setan akan bersembunyi.”[16]
Dengan banyak berdzikir seorang mukmin akan terlindung dari kemunafikan, karena Allah menyebutkan di dalam Alquran bahwa di antara sifat orang munafiq adalah sedikit sekali berdzikir kepada Allah,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَاقَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka, apabila berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malasnya, mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka berdzikir kepada Allah kecuali sedikit saja.” (QS. An Nisaa: 142)
Ka’ab bin Malik berkata, “Barangsiapa yang banyak berdzikir kepada Allah ia akan terbebas dari nifaq (kemunafikan).”[17] Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Banyak berdzikir adalah keamanan dari nifaq, dan Allah memuliakan hati yang banyak berdzikir dengan dibebaskan dari penyakit nifaq, karena penyakit itu hanya ditimpakan kepada hati yang lalai dari dzikir kepada Allah.”[18]
Dzikir memberi kekuatan kepada hati seseorang untuk senantiasa istiqamah, karena orang yang selalu ingat kepada Allah, ia akan aman untuk dilupakan oleh Allah dan bila hamba dilupakan oleh Allah ia akan sengsara di dunia dan akhirat. Akibat melupakan Allah seorang hamba akan melupakan dirinya sendiri sehingga tidak peduli kepada keselamatan dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَتَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al Hasyr: 19).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila hamba melupakan dirinya sendiri, ia akan melalaikan kemashlahatan untuk dirinya maka ia binasa dan pasti akan rusak, seperti orang yang mempunyai ladang atau taman atau binatang ternak dan sebagainya yang akan senantiasa baik bila ia memperhatikan dan mengurusnya, namun bila ia melalaikannya dan sibuk dengan urusan lain pasti akan rusak dan binasa.”[19]
h. Membaca Perjalanan Hidup Orang-Orang yang Shalih
Bila kita membaca sejarah kehidupan mereka; bagaimana kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai macam cobaan dan rintangan, kita akan merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Karena cobaan yang menimpa seseorang disesuaikan dengan keteguhannya dalam memegang agama Allah. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya? Beliau bersabda, “Para Nabi kemudian setelahnya kemudian setelahnya, seorang hamba diuji sesuai dengan kekuatan agamanya. Jika agamanya kokoh maka ujiannya semakin berat, dan jika agamanya tipis maka ia diuji sesuai dengan kekuatan agamanya, dan ujian akan senantiasa menerpa hamba sampai Allah biarkan ia berjalan di atas bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Ibnu Majah).[20]
Dengan membaca kisah-kisah mereka hati kita terhibur dan menjadi kuat untuk tetap istiqamah. Lebih-lebih untuk kita yang hidup di zaman yang dipenuhi penyimpangan dari sunah dimana ketika kita mencoba berpegang kepada sunah, tegak kepada kita kiamat, berbagai macam celaan dan tuduhan dilemparkan bahkan sebagian ikhwah diusir dari keluarganya, seorang akhwat diceraikan oleh suaminya, seorang anak tidak diakui lagi oleh kedua orang tuanya, dan kisah-kisah ujian yang lainnya.
Ini tidak aneh, karena Nabi yang paling mulia yang mempunyai akhlak yang sangat agung saja diberikan cobaan yang amat berat dalam menyampaikan risalah Rabbnya, demikian pula para ulama setelah itu, dengarkanlah sebuah kisah yang diceritakan oleh Imam Asy Syathibi (790 H) tentang dirinya, ia berkata,
“…Aku memulai memperdalam ushuluddin (pokok-pokok agama) baik amaliyah maupun keyakinan, kemudian memperdalam cabang-cabang yang di bangun di atas pokok-pokok tadi. Dari sana menjadi jelas kepadaku mana yang sunah dan mana yang bid’ah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, kemudian aku menguatkan diriku untuk berjalan bersama Al Jama’ah yang dinamai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan namaAs Sawadul A’dzam, dan meninggalkan bid’ah yang telah dinyatakan oleh para ulama sebagai sesuatu yang bid’ah dan menyimpang.
Waktu itu aku ikut serta dalam sebagian khutbah, menjadi imam dan lain sebagainya, dan ketika aku ingin istiqamah di atas sunah, ternyata aku dapati diriku terasing di tengah-tengah kebanyakan manusia, karena agama mereka telah dikuasai oleh adat-istiadat dan telah dimasuki kotoran-kotoran bid’ah…
Aku pun menimbang-nimbang antara mengikuti sunah namun menyalahi adat istiadat manusia, dan pastilah aku akan menghadapi ujian yang amat berat walaupun pahalanya besar. Dan antara mengikuti mereka namun menyalahi sunah dan jalan salafusshalih, akibatnya aku termasuk orang-orang yang sesat –aku berlindung kepada Allah dari itu-.
Namun aku yakin bahwa keselamatan adalah dengan mengikuti sunah dan bahwa manusia tidak dapat menolongku sedikit pun dari adzab Allah, aku mencoba memulai mengamalkan sunah secara perlahan-lahan, maka tegaklah kiamat kepadaku, dan cercaan bertubi-tubi menghampiriku, aku dituduh sesat dan berbuat bid’ah dan dianggap pandir dan bodoh…
Terkadang aku dituduh mengatakan bahwa berdoa itu tidak ada manfaatnya karena aku tidak mau ikut berdoa secara berjamaah di setiap selesai shalat.. terkadang aku dituduh sebagai Syiah Rafidhah karena aku tidak mengkhususkan doa untuk Khulafa’ Rasyidin ketika khutbah Jumat, padahal perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh salafushalih, tidak pula oleh ulama yang mu’tabar.. terkadang aku dianggap memusuhi para wali Allah karena aku tidak menyukai kaum sufi yang berbuat bid’ah dan menyimpang dari sunah..
Keadaanku menyerupai keadaan seorang imam yang terkenal yang bernama Abdurrahman bin Bathah di tengah masyarakat di zamannya, beliau bercerita tentang dirinya:
“Aku merasa heran terhadap keadaanku bersama karib kerabatku baik yang dekat maupun yang jauh, yang mengenalku maupun yang tidak mengenalku, aku mendapati di Mekah, Khurasan, dan tempat lainnya orang-orang menyeru kepada pendapatnya, jika aku membenarkan perkataannya ia menamaiku muwafiq, jika aku menyalahi sebagian perkataannya ia menamaiku mukhalif, jika aku membawakan dalil dari Alquran dan sunah yang menyalahi pendapatnya ia menamaiku khariji, jika aku bacakan hadis tentang tauhid ia menamaiku musyabbih, jika hadis itu berbicara tentang iman ia menamaiku murji’ah, jika tentang perbuatan hamba ia menamaiku qadari, jika tentang keutamaan ahlul bait ia menamaiku rafidhah, jika tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar ia menamaiku nashibi, jika aku menjawab dengan lahiriyah hadis ia menamaiku dzahiri..
Jika aku menyetujui sebagian mereka, maka sebagian lainnya marah dan murka kepadaku, dan jika aku mencari keridhaan mereka, maka Allah akan murka kepadaku dan mereka tidak bisa menolongku sedikit pun dari adzab Allah. Maka aku tetap berpegang kepada Alquran dan sunah dan memohon ampun kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia dan Dia maha pengampun lagi maha penyayang.”[21]
i. Banyak Bertaubat dan Kembali kepada Allah
Bertaubat adalah pembersih kotoran dosa yang melekat di hati manusia, dan ia adalah salah satu obat yang dapat menjaga kesehatan hati, Ibnu Qayyim rahimahullahmenyebutkan bahwa cara menjaga kesehatan hati berkaitan erat dengan cara menjaga kesehatan badan, dan beliau menyebutkan bahwa menjaga kesehatan badan adalah dengan tiga cara, beliau berkata: “Poros kesehatan adalah dengan :
- Menjaga stamina
- Menjauhi penyakit dan
- Mengeluarkan unsur yang rusak
Perhatian para dokter berporos kepada tiga pokok ini, dan Alquran telah menunjukkan kepadanya; adapun menjaga stamina, Allah Ta’ala mengizinkan musafir dan orang sakit untuk berbuka puasa Ramadan dan mengqadhanya ketika telah mukim dan sehat, ini dalam rangka menjaga kekuatan mereka karena puasa dapat menambah lemah bagi orang yang sakit, dan musafir membutuhkan kekuatan untuk menghadapi lelahnya perjalanan sedangkan puasa membuatnya lemah.
Adapun menjauhi penyakit, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keringanan kepada orang yang sakit untuk tidak mempergunakan air dalam wudlu dan mandi jika air itu semakin menambah penyakitnya, dan memerintahkan untuk bertayammum dalam rangka menjaganya dari sesuatu yang dapat menambah penyakit badannya.
Adapun mengeluarkan unsur yang rusak, Allah mengizinkan bagi orang yang sedang ihram untuk mencukur rambut yang menyakitinya karena banyaknya kutu yang menyerang, dan ini cara yang paling mudah dalam mengeluarkan unsur yang rusak.
Jika engkau megetahui ini, hati pun membutuhkan sesuatu yang dapat menjaga staminanya yaitu iman dan ketaatan, dan harus dijaga dari sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan penyakitnya yaitu dosa, maksiat, dan berbagai macam bentuk penyimpangan. Dan harus dikeluarkan darinya unsur yang rusak yaitu dengan taubat nasuha dan memohon ampunan kepada Allah yang Maha mengampuni dosa.”[22]
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang fitnah yang bergelombang dimana fitnah itu akan ditampakkan kepada hati seperti tikar seutas demi seutas, hati mana saja yang menerimanya akan diberikan titik hitam dan hati mana saja mengingkarinya akan diberi titik putih, sehingga menjadi dua hati: Hati yang putih bagaikan batu shofa, tidak terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada, dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yangmungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.
Maka di zaman fitnah ini kita harus lebih banyak bertaubat dan istighfar untuk menghilangkan noda-noda hitam di hati akibat maksiat dan fitnah yang merasuki hati kita, tentunya taubat yang disertai penyesalan, bertekad untuk tidak melakukannya lagi dan meninggalkan maksiat tersebut selama hayat dikandung badan. Inilah jalan menuju istiqamah agar hamba meraih husnul khatimah.
Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com
Artikel www.cintasunnah.com
[1] Muslim 3:1473 no. 1844.
[2] Musnad Abdu bin Humaid no.1524, dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Silsilah Shahihah no.2311.
[3] Bukhari no.3332 dan Muslim 4:2036 no.2643.
[4] Ibnu Rajab, Jami’ul ‘ulum wal hikam 1:172-173. Tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[5] Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 937.
[6] Bukhari no.1882 dan Muslim 4:2256 no.2938.
[7] Dihasankan oleh Syaikh Al AlBani dalam Silsilah Shahihah no.2455, dan hadis ini membantah sebuah pemahaman yang muncul di zaman ini bahwa Khawarij itu hanya ada pada masa Ali bin Abi Thalib saja.
[8] Lihat Shahih Al Wabil Ash Shayyib, Hal. 94-95.
[9] Bukhari no 5534 dan Muslim 4/2026 no 2628.
[10] Muslim 1/128 no 144.
[11] Bukhari, no.1126.
[12] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13:23.
[13] Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Silsilah Shahihah no.2091.
[14] Muslim 1:110 no 118.
[15] At Tirmidzi dalam Sunan-nya dari jalan Abdurrazaq dari Ma’mar dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, At Tirmidzi berkata, “Mereka menyebutkan bahwa antara Abu Qilabah dan Ibnu Abbas ada seorang perawi, diriwayatkan oleh Qatadah dari Abu Qilabah dari Khalid bin Lajlaj dari Ibnu Abbas. Penulis katakan, “Khalid bin Lajlaj atau Hushain bin Lajlaj adalah perawi yang majhul sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Taqrib, namun hadis ini mempunyai syahid dari hadis Mu’adz bin Jabal diriwayatkan juga oleh At Tirmidzi dari jalan Muhammad bin Basyarhaddatsana Mu’adz bin Hani Abu Hani Al Yasykuri haddtsana Jahdlam bin Abdullah dari Yahya bin Abi Katsir dari Zaid bin Sallam dari Abu Sallam dari Abdurrahman bin ‘Aiyisy Al Hadhrami dari Malik bin Yakhamir As Saksaki dari Mu’adz bin Jabal. Penulis katakan, “Sanad ini hasan dan semua perawi hadis ini tsiqah kecuali Jahdham, ia seorang perawi yang shaduq, namun Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan dengan ‘an sedangkan ia perawi mudallis, akan tetapi dalam Musnad Ahmad no.22162 ia menyatakan haddatsana sehingga tadlis-nya hilang.” Dan hadis ini bila digabungkan dengan sebelumnya menjadi shahih lighairihi. Wallahu a’lam.
[16] Tafsir Ibnu Katsir, 8:540 tahqiq Saami bin Muhammad Salamah.
[17] Shahih Al Wabil Ash Shayyib, Hal. 147.
[18] Shahih Al Wabil Ash Shayyib, Hal. 148.
[19] Shahih Al Wabil Ash Shayyib, Hal 89-90.
[20] Ibnu Majah dalam sunannya dari jalan Hammad bin Zaid dari ‘Ashim bin bahdalah dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi waqqash dari ayahnya. Penulis katakan, “Sanad hadis ini hasan semua perawinya tsiqah kecuali ‘Ashim ia shoduq lahu auham sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz”.
[21] Al I’tisham, 1:32-38 secara ringkas. Tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali.
[22] Ibnu Qayyim, ighatsaulahafan, Hal. 19-20, tahqiq Majdi Fathi Sayid.
Tag :
Manhaj,
SIAPAKAH YANG LAYAK DIBERI AMANAH?
Oleh
Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali
Betapa menyedihkan, tatkala sifat amanah ini telah hilang dari sebagian kaum Muslimin, apalagi yang sudah “mengaji”.
Ketahuilah, wahai para pembaca budiman,
Sebagai seorang yang benar-benar mengaku beriman kepada Allah dan mengaku mengikuti manhaj Salaf yang sempurna dan mulia ini, maka, perhatikanlah baik-baik!
Karena tidak jarang kita mendapatkan khabar tentang si Fulan yang tidak menepati janjinya … berpura-pura lupa … Si Fulan sangat menggampangkan sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya … Bahkan … Si Fulan telah menipu rekan bisnisnya … Si Fulan berbohong dan tidak amanah kepada atasannya … Si Fulan menipu ustadznya yang berbisnis dengannya … Sungguh mengherankan, sekaligus memalukan! Wallahul Musta’an, wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
____________________________________________
Amanah adalah sifat mulia. Sehingga amat disayangkan jika kaum Muslimin kehilangan sifat mulia ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk menunaikan amanah, menjelaskan akibat buruk mengabaikan dan melalaikan amanah. Penyebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan ini adalah karena kejahilan (kebodohan).[1]
Kebodohan seorang muslim terhadap pentingnya masalah amanah, telah membuatnya meninggalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat agung ini, sekaligus telah bermaksiat. Dan bahkan dapat menjadi dosa besar, jika seseorang yang telah mengetahui hukumnya, tetapi justru menyia-nyiakan amanah.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita senantiasa berusaha keras dan sungguh-sungguh membebaskan diri dari kejahilan, yakni dengan menuntut ilmu syar’i secara umum, dan memahami urgensi amanah ini secara khusus, lalu mengamalkannya. Serta tetap terus memohon dan berdoa kepada Allah Subhanahun wa Ta'ala agar kita senantisa diberi taufiq, hidayah, dan segala kemudahan dalam menuntut ilmu syar’i, memahaminya, serta merealisasikan syariat Islam yang sempurna dan mulia ini dalam keseharian.
MAKNA AMANAH
Al Imam Ibnu al Atsir rahimahullah berkata, amanah bisa bermakna ketaatan, ibadah, titipan, kepercayaan, dan jaminan keamanan [2]. Begitu juga al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan beberapa perkataan dari sahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini. Ketika menafsirkan surat al Ahzab ayat 72, al Hafizh Ibnu Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi'in tentang makna amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.[3]
Asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata,"(Amanah) adalah segala sesuatu yang mewajibkan engkau untuk menunaikannya” [4]. Adapun menurut asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah-amanah adalah, kepercayaan orang berupa barang-barang titipan, dan perintah Allah berupa shalat, puasa, zakat dan semisalnya, menjaga kemaluan dari hal-hal haram, dan menjaga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan dosa. [5]
Sedangkan asy Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali -hafizhahullah- menjelaskan, amanah adalah sebuah perintah menyeluruh dan mencakup segala hal berkaitan dengan perkara-perkara, yang dengannya, seseorang terbebani untuk menunaikannya, atau ia dipercaya dengannya. Sehingga amanah ini mencakup seluruh hak-hak Allah atas seseorang, seperti perintah-perintahNya yang wajib. Juga meliputi hak-hak orang lain, seperti barang-barang titipan (yang harus ditunaikan dan disampaikan kepada si pemiliknya, Pen). Sehingga, sudah semestinya seseorang yang dibebani amanah, ia menunaikannya dengan sebaik-baiknya dengan menyampaikan kepada pemiliknya. Ia tidak boleh menyembunyikan, mengingkari, atau bahkan menggunakannya tanpa izin yang syar’i.[6]
Asy Syaikh Husain bin Abdul Aziz Alu asy Syaikh -hafizhahullah- juga menjelaskan : “Para ulama telah berkata, hal-hal yang termasuk amanah sangatlah banyak. Kaidah dan dasar hukumnya adalah segala sesuatu yang seseorang terbebani dengannya, dan hak-hak yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala agar ia memelihara dan menunaikannya, baik berkaitan dengan agama, jiwa manusia, akal, harta, dan kehormatan harga diri". [7]
DI ANTARA DALIL-DALIL AL QUR`AN YANG MENJELASKAN TENTANG AMANAH
1. Surat an Nisaa/4 ayat 58 :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…"
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (2/338-339) berkata : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabarkan bahwa sesungguhnya Ia memerintahkan (kepada kita) untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya. Dalam sebuah hadits dari al Hasan, dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu". [Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad dan Ahlus Sunan].[8]
Ini mencakup seluruh jenis amanah yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang dibebani dengannya. Baik (amanah itu) berupa hak-hak Allah atas hambanya, seperti (menunaikan) shalat, zakat, kaffarat, nadzar, puasa, dan lain-lainnya yang ia terbebani dengannya dan tidak terlihat oleh hamba-hamba Allah lainnya. Ataupun berupa hak-hak sesama manusia, seperti barang-barang titipan, dan yang semisalnya, yang mereka saling mempercayai satu orang dengan yang lainnya tanpa ada bukti atasnya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkannya untuk menunaikannya. Barangsiapa yang tidak menunaikannya, akan diambil darinya pada hari Kiamat kelak.[9]
2. Surat al Anfal/8 ayat 27 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"… Dan khianat, mencakup seluruh perbuatan dosa, baik yang kecil maupun yang besar, baik (dosanya) terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. 'Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas, (tentang firmanNya) وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ , amanah adalah seluruh perbuatan yang telah Allah bebankan kepada hamba-hambaNya (agar mereka menunaikannya, Pen), yaitu (berupa) kewajiban-kewajiban. Dan maksud "janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat” adalah, janganlah kamu menggugurkannya. Dalam sebuah riwayat, ‘Ibnu Abbas menjelaskan maksud firmanNya: لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ , (janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul), dengan cara meninggalkan sunnah Nabi dan melakukan maksiat kepada Nabi" [10]
3. Surat al Ahzab/33 ayat 72 :
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh".
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, setelah membawakan beberapa perkataan dari shahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini, beliau berkata: “Seluruh perkataan ini, tidak ada pertentangan sesamanya. Bahkan seluruhnya bermakna sama dan kembali kepada satu makna, (yaitu) pembebanan, penerimaan perintah-perintah dan larangan-larangan dengan syarat-syaratnya. Dan hal ini, jika seseorang menunaikannya, maka ia akan diberi pahala. Namun, jika ia menyia-nyiakannya, maka ia pun akan disiksa. Akhirnya, manusialah yang menerima amanah ini, padahal ia lemah, bodoh, lagi berbuat zhalim. Kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah, dan Allah-lah tempat memohon pertolongan”.[11]
4. Surat al Mu’minun/23 ayat 8, atau surat al Ma’arij/70 ayat 32:
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya".
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (8/227) berkata: "Maksudnya, apabila mereka dipercaya (dalam suatu urusan), mereka tidak berkhianat. Dan apabila mereka mengadakan perjanjian, mereka tidak menyelisihinya. Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Dan kebalikan dari ini, adalah sifat orang-orang munafik. Sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, tanda orang munafiq ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat. Dalam sebuah riwayat, apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila bertengkar ia berbuat curang.[12]
5. Surat al Baqarah/2 ayat 283:
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
"…Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya…".
DI ANTARA DALIL-DALIL AS SUNNAH YANG BERKAITAN DENGAN AMANAH DAN KETERANGAN WAJIBNYA MENUNAIKAN AMANAH, SERTA AKIBAT BURUK MENYIA-NYIAKAN DAN MELALAIKANNYA
1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan wajibnya menunaikan amanah kepada pemiliknya, ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَدِّ الأَمَانَـةَ إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَكَ، وَلاَ تَـخُنْ مَنْ خَانَكَ .
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau dipercaya (untuk menunaikan amanah kepadanya), dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu". [13]
Berkaitan dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini, asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata : "Perintah (di dalam hadits ini) menunjukkan wajibnya hal tersebut” [14]. Yakni, seseorang wajib menunaikan amanah. Sehingga Imam adz Dzahabi rahimahullah telah mengkategorikan perbuatan khianat ini ke dalam perbuatan dosa besar. Beliau berkata,"Khianat sangat buruk dalam segala hal, sebagiannya lebih buruk dari sebagian yang lainnya. Tidaklah orang yang mengkhianatimu dengan sedikit uang, seperti orang yang mengkhianatimu pada keluargamu, hartamu, dan ia pun melakukan dosa-dosa besar (lainnya)”.[15]
2. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan salah satu tanda hari Kiamat adalah apabila amanah telah disia-siakan, ia berkata:
بَيْنَمَا النَّـبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ القَوْمَ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ، فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ، فَقَالَ بَعْضُ القَوْمِ: سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ يَسْمَعْ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْـثَهُ، قَالَ: أَيْنَ -أُرَاهُ- السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟ ، قَالَ: هَا أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: فَإِذَا ضُـيِّعَتِ الأَمَانَـةُ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ، فَانْـتَظِرِ السَّاعَةَ .
"Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada dalam sebuah majelis (dan) berbicara dengan sekelompok orang, datanglah kepadanya seorang sahabat (dari sebuah perkampungan) dan berkata, “Kapankah hari kiamat?”. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap melanjutkan pembicaraannya, maka sebagian orang ada yang berkata, “Ia (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ) mendengar ucapannya, namun ia tidak menyukainya”. Dan sebagian yang lain berkata: “Bahkan beliau tidak mendengarnya,” hingga akhirnya Rasulullah selesai dari pembicaraannya, dan beliau pun bersabda, “Mana orang yang (tadi) bertanya?” Orang itu berkata,"Inilah saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda,"Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!” Orang itu kembali bertanya,"Bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?" Rasulullah bersabda,"Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat!" [16]
3. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anha , yang menerangkan khianat adalah salah satu tanda-tanda orang munafik, ia berkata:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: آيـَةُ المُـنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ؛ وَإِذَا وَعَدَ أَخْـلَفَ؛ وَإِذَا اؤْتُـمِنَ خَانَ .
"Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat” [17].
4. Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, yang menjelaskan amanah dan menepati janji merupakan salah satu sifat orang beriman, ia berkata:
مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلاَّ قَالَ: لاَ إِيْـمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَـةَ لَهُ، وَلاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ .
"Tidaklah Nabiyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami, melainkan beliau bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya”. [18]
Berkaitan dengan hadits ini, asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- berkata, “Maksud sabda beliau (لاَ إِيْـمَانَ), dikatakan oleh as Sindi, ada yang mengatakan bahwa maksud dari kedua penafian (peniadaan) dalam hadits ini adalah nafyul kamal (peniadaan kesempurnaan iman dan agama). Ada yang mengatakan pula, maksudnya adalah, sama sekali tidak beriman orang yang menganggap halal meninggalkan amanah, dan sama sekali tidak beragama seseorang yang menganggap halal melanggar janjinya. Dan maksud dari sabda beliau (لاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ) adalah, barangsiapa yang mengadakan sebuah perjanjian dengan orang lain, lalu ia sendiri yang melanggar dan tidak menepati janjinya tanpa ada ‘udzur (alasan) yang syar’i, maka agamanya kurang. Adapun jika dengan ‘udzur (alasan yang syar’i) -seperti seorang Imam (pemimpin) yang membatalkan perjanjian dengan seorang harbi (orang kafir yang diperangi), jika ia melihat ada kemaslahatan padanya-, maka hal ini boleh. Wallahu Ta’ala a’lam”.[19]
5. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu 'anhuma , yang menerangkan salah satu tanda hari kiamat adalah datangnya sebuah zaman, yang pada saat itu, orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan pengkhianat dianggap orang yang amanah (jujur). Dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يُـبْغِضُ الفُحْشَ وَالتَّـفَحُّشَ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِـيَدِهِ، لاَ تَـقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يُـخَوَّنَ الأَمِـيْنُ وَيُؤْتَـمَنَ الخَائِنُ، حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّـفَحُّشُ وَقَطِـيْعَةُ الأَرْحَامِ وَسُوْءُ الجِوَارِ... .
"Sesungguhnya Allah membenci (sifat) keji dan kekejian. Dan demi (Dzat) yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak akan terjadi hari kiamat sampai orang yang amanah (jujur) dianggap pengkhianat, dan seorang pengkhianat dipercaya, sampai muncul (sifat) keji dan kekejian, pemutusan hubungan silaturahim (kerabat), dan buruk dalam bertetangga…".[20]
SIAPAKAH YANG LAYAK DIBERI AMANAH?
Judul di atas memberikan pemahaman, tidak semua orang bisa diberi amanah kepercayan. Maksudnya, ada orang yang memiliki sifat-sifat tertentu, yang dengannya ia sebagai orang yang paling tepat dan paling berhak untuk dibebani amanah atau kepercayaan.
Asy Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr -hafizhahullah- menjelaskan permasalahan ini dan berkata:
Dasar untuk memilih seorang pegawai atau pekerja adalah ia seorang yang kuat dan amanah (terpercaya). Karena dengan kekuatannya, ia mampu melakukan pekerjaan dengan baik. Dan dengan sifat amanahnya, ia akan menempatkan pada tempatnya semua perkara yang berkaitan dengan tugasnya. Dengan kekuatannya pula, ia sanggup menunaikan kewajiban yang telah dibebani atasnya.
Allah telah mengkhabarkan tentang salah satu dari kedua anak perempuan seorang penduduk Madyan, ia berkata kepada ayahnya tatkala Nabi Musa Alaihissallam mengambilkan minum untuk hewan ternak kedua wanita tersebut:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
"… Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". [al Qashash/28 : 26].
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah mengkhabarkan tentang ‘Ifrit dari golongan jin, yang memperlihatkan kesanggupannya kepada Nabi Sulaiman Alaihissallam untuk membawa singgasana Balqis:
أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ ۖ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ
"…Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya". [an Naml/27 : 39].
Maknanya, ia memiliki kemampuan untuk membawa dan mendatangkannya, sekaligus menjaga apa yang terdapat di dalamnya.
Allah juga mengkhabarkan tentang Nabi Yusuf Alaihissallam , tatkala ia berkata kepada sang raja:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
"… Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". [Yusuf/12 : 55].
Kemudian, lawan dari sifat kuat dan amanah adalah lemah dan khianat. Sehingga, inipun menjadi dasar atas diri seseorang untuk tidak dipilih dan dibebani kepercayaan atau pekerjaan. Bahkan, mengharuskan untuk menjauhkannya dari kepercayaan atau pekerjaan.
Tatkala Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu sebagai gubernur di Kufah, dan kemudian orang-orang dungu di Kufah mencelanya dan membicarakan buruk padanya, maka Umar Radhiyallahu 'anhu melihat adanya kemaslahatan untuk menghentikan (Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu) dari jabatan tersebut untuk menghindari fitnah. Selain itu juga, agar tidak ada orang yang berani berbuat macam-macam padanya. Kendatipun demikian, Umar Radhiyallahu 'anhu, menjelang wafatnya memilih enam orang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar salah satu dari mereka dijadikan sebagai khalifah sepeninggalnya. Salah satu dari mereka adalah Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu. Hal ini, karena Umar Radhiyallahu 'anhu khawatir timbul prasangka, bahwa penghentiannya atas Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu -dari jabatan Gubernur- disebabkan ketidakmampuannya dalam memimpin sebuah wilayah. Dan Umar Radhiyallahu 'anhu ingin menghilangkan anggapan itu dengan berkata:
فَإِنْ أَصَابَتْ الإِمْـرَةُ سَعْداً فَهُوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ فَلْـيَسْـتَعِنْ بِهِ أَيُّـكُمْ مَا أُمِّـرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْـزِلْهُ عَنْ عَجْـزٍ وَلاَ خِيَانَةٍ
"Jika kekuasaan ini terjatuh pada Sa’ad, maka itu memang haknya. Dan jika tidak, maka hendaknya salah seorang dari kalian meminta bantuannya, kerena sesungguhnya aku tidak menghentikannya dengan sebab kelemahan dan pengkhianatan". [Diriwayatkan al Bukhari, 3700].
Dan terdapat di dalam Shahih Muslim (1825) dari Abu Dzar z , ia berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ تَسْـتَـعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِيْ، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّـكَ ضَـعِيْفٌ، وَإِنَّـهَا أَمَانَـةٌ، وَإِنَّـهَا يَوْمَ القِـيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَـقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَـيْهِ فِيْهَا .
"Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda,"Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, dan ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)".
Terdapat pula di dalam Shahih Muslim, 1826, dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَـعِـيْفاً، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِـنَـفْسِيْ، لاَ تَـأَمَّـرَنَّ عَلَى اثْـنَـيْنِ، وَلاَ تَوَلَّـيَنَّ مَالَ يَـتِـيْمٍ .
"Wahai, Abu Dzar. Sesungguhnya aku memandangmu orang yang lemah, sedangkan aku mencintai untukmu seperti aku mencintai untuk diriku. Janganlah kamu menjadi pemimpin (walaupun terhadap) dua orang (saja), dan janganlah kamu mengatur harta (anak) yatim".[21]
Mudah-mudahan Allah l senantiasa menjadikan kita sebagai orang-orang yang jujur, amanah, dan menjauhkan kita semua dari kelemahan, kedustaan, dan khianat. Hanya Allah sajalah Maha Pemberi taufiq. Wallahu a’lam bish shawab.
Maraji’ & Mashadir:
1. Al Qur`an dan Terjemahnya, Cetakan Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahih al Bukhari, tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4. Sunan Abi Daud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
5. Jami’ at Tirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk, Daar Ihya at Turats, Beirut.
6. Musnad al Imam Ahmad, Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
7. An Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al Atsar karya Ibnu al Atsir (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th 1422 H/ 2001 M.
8. Al Kaba-ir, karya adz Dzahabi (673-748 H), tahqiq Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Maktabah al Furqan, ‘Ajman, Uni Emirat Arab, Cet. II, Th. 1424 H/ 2003 M.
9. Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, karya Ibnul (691-751 H), takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.
10. Fawa-id al Fawa-id, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), tartib dan takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. V, Th. 1422 H.
11. Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al Arna’uth dan Abdul Qadir Al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, cet III, th 1423 H/2002 M.
12. Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al ‘Azhim), karya Ibnu Katsir (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Daar ath Thayibah, Riyadh, Cet. I, Th. 1422 H/ 2002 M.
13. Jami’ al Ulum wa al Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’ al Kalim, karya Ibnu Rajab al Hanbali (736-795 H), tahqiq Syu’aib Al Arna-uth dan Ibrahim Bajis, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, Cet. VII, Th. 1422 H/ 2001 M.
14. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi, karya al Mubarakfuri (1283-1353 H), Daar al Kutub al Ilmiah, Beirut.
15. Shahih Sunan Abi Daud, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah Al Ma’arif, Riyadh.
16. Shahih Sunan at Tirmidzi, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
17. Shahih al Jami’ ash Shaghir, karya al Albani (1332-1420 H), Al Maktab al Islami.
18. As Silsilah as Shahihah, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
19. Irwa-ul Ghalil fi Takhriji Ahaditsi Manar as Sabil, karya al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. II, Th. 1405 H/ 1985 M.
20. Shahih at Targhib wa at Tarhib, karya al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, Cet. I, Th. 1421 H/ 2000 M.
21. Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad al Badr, ad Daar al Haditsah, Mesir, Cet. I. Th. 1425 H/ 2004 M.
22. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin, Salim bin ‘Id al Hilali, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. VI, Th. 1422 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fawa-id al Fawa-id, hlm. 193-195, dan 215-231.
[2]. An Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar (1/80).
[3]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/488-489).
[4]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi (4/400).
[5]. Lihat ta’liq (komentar) beliau dalam kitab al Kabair, hlm. 282.
[6]. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash Shalihin (1/288).
[7]. Dari khuthbah Jum’at yang beliau sampaikan di Masjid Nabawi, al Madinah an Nabawiyah, KSA, pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 1426 H, yang bertema ‘Izhamu Qadril Amanah (Agungnya Kedudukan Amanah).
[8]. Berkaitan dengan hadits yang dibawakan oleh al Hafizh Ibnu Katsir t di dalam kitab tafsirnya (2/339) ini, pentahqiq Sami bin Muhammad as Salamah berkata: “Saya tidak mendapatkan hadits ini diriwayatkan dari jalan Samurah Radhiyallahu 'anhu, akan tetapi hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Imam Ahmad di dalam Musnadnya (3/414), dari seseorang, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .
2. At Tirmidzi di dalam Sunannya nomor (1264), dan Abu Dawud di dalam Sunannya nomor (3535), dari jalan Thalq bin Ghannam, dari Syarik dan Qais, dari Abu Hushain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Dan at Tirmidzi berkata,"Hadits hasan Gharib”. Dan Abu Hatim berkata,"Hadits munkar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini melainkan Thalq saja”. (Lihat al ‘Ilal (1/375). Lebih lanjut lihat catatan kaki pentahqiq kitab tafsir Ibnu Katsir tersebut.
[9]. Lihat pula risalah Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, hlm. 4-5.
[10]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (4/41).
[11]. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim (6/489).
[12]. Muttafaq ‘alaih, lihat takhrij ringkasnya pada footnote nomor 17.
[13]. HR Abu Dawud (3/290 no. 3535), at Tirmidzi (3/564 no. 1264), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani -rahimahullah- di dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih Sunan at Tirmidzi, Shahih al Jami’ (240), as Silsilah ash Shahihah (1/783 no. 423-424), dan Irwa-ul Ghalil (5/381 no. 1544).
[14]. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi (4/400).
[15]. al Kabair, hlm. 282.
[16]. HR al Bukhari (1/33 no. 59) dan (5/2382 no. 6131), Ahmad (2/361 no. 8714), dan lain-lain.
[17]. HR al Bukhari (1/21 no. 33, 2/952 no. 2536, 3/1010 no. 2598, 5/2262 no. 5744), Muslim (1/78 no. 59), dan lain-lain.
[18]. HR Ahmad (3/135, 154, 210, 251), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam Shahih al Jami’ (7179), Shahih at Targhib wa at Tarhib (3/156 no. 3004), dan lain-lain. Lihat pula takhrij asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah- terhadap hadits ini dalam kitab al Kabair, hlm. 280-282.
[19]. Lihat ta’liq (komentar) beliau terhadap hadits ini dalam kitab al Kabair, hlm. 282.
[20]. HR Ahmad (2/199 no. 6872), dan lain-lain. Hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani t di dalam as Silsilah ash Shahihah (5/360).
[21]. Lihat risalah beliau yang berjudul Kaifa yu-addi al Muwazhzhaf al Amanah, hlm. 13-15.
Akibat Tidak Amanah dalam Kepemimpinan
Janji demi janji diberi menjelang pesta rakyat, Pemilu yang dihadapi setahun lagi. Inilah yang digaungkan oleh para penggila kekuasaan. Awalnya ingin mengatasnamakan rakyat ketika awal-awal berkampanye. Namun kala mereka mendapatkan kursi panas, janji tinggallah janji. Awalnya mereka adalah orang yang kenal agama, karena kekuasaan, hidup glamor yang jadi prioritas, bahkan agama pun dikorbankan demi ambisi kekuasaan.
Inilah realita yang terjadi pada para penggila kekuasaan. Benarlah kata Rasul kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa kekuasaan bisa jadi ambisi setiap orang. Namun ujungnya selalu ada penyesalan. Beliau bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari no. 7148)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata bahwa ucapan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di atas menceritakan tentang sesuatu sebelum terjadinya dan ternyata benar terjadi.
Hadits di atas semakin jelas jika dilihat dari riwayat lainnya yang dikeluarkan oleh Al Bazzar, Ath Thobroni dengan sanad yang shahih dari ‘Auf bin Malik dengan lafazh,
أَوَّلهَا مَلَامَة ؛ وَثَانِيهَا نَدَامَة ، وَثَالِثهَا عَذَاب يَوْمَ الْقِيَامَة ، إِلَّا مَنْ عَدَلَ
“Awal (dari ambisi terhadap kekuasaan) adalah rasa sakit, lalu kedua diikuti dengan penyesalan, setelah itu ketiga diikuti dengan siksa pada hari kiamat, kecuali bagi yang mampu berbuat adil.”
Dan disebutkan oleh Thobroni dari hadits Zaid bin Tsabit yang marfu’,
نِعْمَ الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَحِلِّهَا ، وَبِئْسَ الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِغَيْرِ حَقّهَا تَكُون عَلَيْهِ حَسْرَة يَوْم الْقِيَامَة
“Sebaik-baik perkara adalah kepemimpinan bagi yang menunaikannya dengan cara yang benar. Sejelek-jelek perkara adalah kepemimpinan bagi yang tidak menunaikannya dengan baik dan kelak ia akan merugi pada hari kiamat.”
Terdapat pula dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar,
قُلْت يَا رَسُول اللَّه أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي ؟ قَالَ : إِنَّك ضَعِيف ، وَإِنَّهَا أَمَانَة ، وَإِنَّهَا يَوْم الْقِيَامَة خِزْي وَنَدَامَة إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau enggan mengangkatku (jadi pemimpin)?” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Engkau itu lemah. Kepemimpinan adalah amanat. Pada hari kiamat, ia akan menjadi hina dan penyesalan kecuali bagi yang mengambilnya dan menunaikannya dengan benar.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini pokok penting yang menunjukkan agar kita menjauhi kekuasaan lebih-lebih bagi orang yang lemah. Orang lemah yang dimaksud adalah yang mencari kepemimpinan padahal ia bukan ahlinya dan tidak mampu berbuat adil. Orang seperti ini akan menyesal terhadap keluputan dia ketika ia dihadapkan pada siksa pada hari kiamat. Adapun orang yang ahli dan mampu berbuat adil dalam kepemimpinan, maka pahala besar akan dipetik sebagaimana didukung dalam berbagai hadits. Akan tetapi, masuk dalam kekuasaan itu perkara yang amat berbahaya. Oleh karenanya, para pembesar (orang berilmu) dilarang untuk masuk ke dalamnya. Wallahu a’lam.”
Lantas bagaimana akibat tidak amanat dalam menunaikan kepemimpinan? Dalam hadits di atas sudah disebutkan akibatnya,
فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita”. Ad Dawudi berkata mengenai maksud kalimat tersebut adalah kepemimpinan bisa berbuah kenikmatan di dunia, namun bisa jadi penghidupan jelek setelah kematian karena kepemimpinan akan dihisab dan ia bagaikan bayi yang disapih sebelum ia merasa cukup lalu akan membuatnya sengsara. Ulama lain berkata mengenai maksud hadits, kekuasaan memang akan menghasilkan kenikmatan berupa kedudukan, harta, tenar, kenikmatan duniawi yang bisa dirasa, namun kekuasaan bisa bernasib jelek di akhirat.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
[Disarikan dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqolani, 13: 125-126]
—
Riyadh-KSA, 23 Rabi’ul Awwal 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Dari artikel 'Akibat Tidak Amanah dalam Kepemimpinan — Muslim.Or.Id'